Akankah Kondisi Indonesia Kini Mirip Jerman Tahun 1846-1847? Dibagi Uang Dibagi Roti Bukan Solusi

Catatan Drs. Munaldus, MA (Pendiri CU Keling Kumang)
SINTANG | SenentangNews.com – Dengan tidak menentunya harga komoditas andalan yaitu karet dan sawit serta tingginya harga pupuk dan upah kerja, cukup untuk membuat sektor perkebunan like chicken dances in boxing atau petinju yang seperti ayam sempoyongan (kena bogem). Kondisi seperti itu diperparah dengan buruknya infrastruktur justru di wilayah sentra-sentra produksi komoditas andalan.
Situasi yang sudah seperti itu, tiba-tiba rakyat dikejutkan dengan kebijakan pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM), yang kemudian harganya menjadi mahal serta terkadang sulit diperoleh. Begitu, dikatakan Mulandus, penggagas dan pendiri Credit Union Keling Kumang dalam rilis tertulisnya, Selasa (20/9/2022).
Menurut Munaldus, kita boleh bersyukur Indonesia tidak berada di belahan dunia yang memiliki empat musim. Namun jika ini berlarut-larut, boleh jadi Indonesia akan mirip-mirip krisis di Jerman pada tahun 1846-1847. Pada saat itu petanilah yang sangat menderita. Para petani yang menggantungkan hidup pada kemurahan alam tak berdaya.
"Bagi petani, dalam situasi seperti ini, yang harus tetap dipertahankan adalah rasa optimis dan jangan konsumtip. Jangan jual kebun. Ingat kepemilikan lahan adalah modal termahal," kata Munaldus.
Masih menurut pendiri Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR) ini, pemerintah pusat mengalihkan subsidi BBM ke bantuan langsung tunai, sementara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota menggelar berbagai aksi yang sifatnya hanya sesaat, seperti operasi pasar dan bagi bagi Sembako.
Kondisi seperti itu mengingatkan sejarah berdirinya Credit Union dunia, kisah yang sangat dihafal oleh semua aktivis Credit Union sedunia.
Sekilas Krisis Di Jerman 1846-1847 Cikal Bakal Berdirinya Credit Union Dunia
Ada sebuah kenyataan yang menarik dalam kisah ini, bahwa pemberian bantuan uang dan pembagian roti bukanlah solusi.
Pada abad 19, tahun 1846-1847, masyarakat Jerman ditimpa musibah kelaparan dan musim dingin yang hebat. Akibat cuaca buruk tersebut, banyak penduduk yang kelaparan. Penyakitpun menyerang mereka. Akhirnya kehidupan menjadi sangat kacau. Para petani yang menggantungkan hidup pada kemurahan alam tak berdaya.
Henry Wolff seorang pejabat lokal setempat menggambarkan kondisi para petani saat itu sebagai “Dunia Tak Berpengharapan”. Miskin tak berdaya dan pertanian berantakan. Masyarakat tidak memiliki uang untuk membeli mesin pertanian, pupuk, bibit atau membangun peternakan untuk meningkatkan pendapatan.
Pada saat itu petani adalah korban yang sangat menderita. Para petani meminjam uang dari lintah darat dengan bunga yang sangat tinggi. Disamping itu mereka meminta jaminan atas lahan pertanian mereka. Apabila mereka gagal membayar pada saat jatuh tempo maka tanah pertanian dan harta benda lain yang mereka gadai langsung disita. Bahkan sering terjadi harta benda para petani juga menjadi incaran para lintah darat. Kehidupan para petani pada waktu itu ibarat “gali lobang tutup lobang, tutup hutang lama, cari hutang baru.”
Tahun 1849 saat Friedrich Wilhelm Raiffeisen menjadi Walikota ia mendirikan Perkumpulan Masyarakat Flamersfeld untuk membantu para petani miskin yang terdiri dari 60 orang kaya. “Kaum miskin harus segera ditolong” begitu katanya. Maka Raiffeisen mengundang kaum kaya agar mengumpulkan uang untuk menolong kaum miskin. Kaum kaya menanggapi secara positif seruan sang Walikota
Usaha ini ternyata tidak membuahkan hasil dan tidak menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh kaum miskin. Derma atau bantuan cuma-cuma tidak dapat memecahkan masalah kemiskinan namun menambah beban karena jumlah warga miskin menjadi terus bertambah karena mudahnya mendapat sumbangan. Penggunaan uang oleh kaum miskin tidak terkontrol, bahkan tidak sedikit yang cepat-cepat memboroskan uangnya agar menerima derma lagi. Akibatnya para dermawan tidak berminat membantu kaum miskin lagi.
Friedrich Wilhelm Raiffeisen, pada waktu itu juga mendirikan Brotveiren, suatu kelompok yang membagi-bagikan roti kepada kaum miskin. Kemudian ia mendirikan pabrik roti yang menjual roti kepada orang yang tidak mampu dengan harga murah. Ia juga mendirikan perkumpulan yang bertugas meminjamkan uang dan membeli bibit kentang kepada petani. Tetapi hal itu ternyata juga tidak menyelesaikan masalah kemiskinan secara permanen. Hari ini diberi, besok sudah habis, begitu seterusnya.
Friedrich Wilhelm Raiffeisen pindah ke Heddersdoff dan menjabat lagi sebagai Walikota. Ia juga mendirikan perkumpulan Heddesdorfer Welfare Organizationsuatu organisasi yang bergerak dalam bidang sosial dan pendidikan. Kemudian organisasi ini dikenal cukup luas dimasyarakat. Walaupun pengorganisasiannya berhasil tetapi kemudian muncul berbagai kendala. Para penanam modal dari kaum kaya mulai luntur semangatnya, karena keuntungan organisasi tersebut tidak mereka rasakan.
Reiffeisen terus memperbaiki dan menyempurnakan gagasan terutama mengenai prinsip dan metode pengorganisasian masyarakat. Akhirnya ia mengganti pendekatan dari pendekatan derma dan belas kasihan dengan prinsip menolong diri sendiri (self help). Ternyata pendekatan ini Sukses.
Tahun 1864 Friedrich Wilhelm Raiffeisen mendirikan sebuah organisasi baru berama “Heddesdorfer Credit Union” dimana kebanyakan anggotanya adalah para petani. Untuk menjadi anggotanya seseorang harus berwatak baik, rajin, dan jujur. Untuk mengetahuinya, para tetangga harus memberikan rekomendasi. Kegiatannya mirip arisan, mengumpulkan sejumlah uang lalu meminjamkannya kepada anggota yang memerlukan. ManajemenHeddesdorfer Credit Union dijalankan secara demokratis dengan cara:
Setiap anggota berpartisipasi dalam rapat anggota. Satu anggota satu suara. Para anggota memilih pengurus dan membuat pola kebijakan bersama. Dipilih suatu badan yang disebut dengan pengawas. Pengawas bertugas mengawasi kegiatan Credit Union dan membuat laporan pengawasan kepada rapat anggota.
Raiffeisen menekankan pada kerja secara sukarela kepada Pengurus dan Pengawas. Yang boleh menerima imbalan hanyalah kasir purnawaktu yang menjalankan operasional. Berdasarkan pengalaman di atas, sang wali kota akhirnya memiliki kesimpulan:
Sumbangan tidak menolong diri kaum miskin, tetapi sebaliknya merendahkan martabat manusia yang menerimanya. Kemiskinan disebabkan oleh cara berpikir yang keliru. Kesulitan si miskin hanya dapat diatasi oleh si miskin itu sendiri. Si miskin harus mengumpulkan uang secara bersama-sama dan kemudian meminjamkan kepada sesama mereka. Pinjaman harus digunakan untuk tujuan produktif yang memberikan penghasilan. Jaminan peminjam adalah watak peminjam.
Singkatnya Heddesdorfer Credit Union yang dibangun Reiffeisen, petani dan kaum buruh berkembang pesat di Jerman. Sampai wafatnya Reiffeisen tahun 1988, terdapat 425 Credit Union di Jerman.
Keberhasilan Heddesdorfer Credit Union atas tiga prinsip utama dalam menjalankan organisasi akhirnya menjadi azas dan prinsip dasar Credit Union: Azas Swadaya, modal dari simpanan hanya diperoleh dari anggotanya. Azas Setiakawan/solidaritas, Pinjaman hanya diberikan kepada anggotanya. Azaz Pendidikan/penyadaran, membangun watak adalah yang utama, hanya yang berwatak baik yang diberikan pinjaman.
CU berkembang ke seluruh dunia. Seorang wartawan Alphonse Desjardin pada awal abad ke-20 membawa CU ke Canada. Seorang saudagar kaya Edward Fillene membawa CU ke Amerika Serikat.Mary Gabriella Mulherim membawa ke Asia khususnya Korea. Pada tahun 1934, dibuat Undang-Undang tentang Credit Union pada masa pemerintahan Presiden F. D. Rosevelt. Kemudian gabungan Credit Union di Amerika Serikat (Credit Union National Association) membentuk Biro Pengembangan Credit Union sedunia, yang diresmikan menjadi World Council of Credit Unions (WOCCU) pada 1971. Kantor pusatnya di Madison, Wiscounsin Amerika Serikat.
“Tujuan dari catatan ini sekedar untuk renungan bahwa ternyata untuk mengatasi kemiskinan dengan membagian uang dan membagikan roti bukanlah solusi,” pungkas pria yang menjadi salah seorang pendiri Pusat Koperasi Kredit (Puskopdit) Khatulistiwa ini.
Komentar